Virgin 3: Satu Malam Mengubah Segalanya!
Belakangan ini, industri perfilman Indonesia sedang menganakemaskan tema horor. Itu terlihat dari banyaknya film bergenre horor yang dipermanis dengan para pemain mudanya yang cantik dan bertubuh seksi. Sejujurnya, saya tidak begitu suka dengan genre horor yang dihadirkan di dalam film-film Indonesia karena mengandung sedikit nilai edukasi di dalamnya. So, I better stay away from this kind of movie.
Di review kali ini, tentu saja saya tidak akan membahas mengenai film horor Indonesia. Saya akan membahas mengenai film drama terbaru produksi Starvision, Virgin 3. Jika Anda merasa déjà vu mendengar judul tersebut, berarti ingatan Anda masih tajam dan (mungkin) tidak akan pernah lupa dengan film Virgin (2005) yang sempat mendapatkan kecaman dari berbagai pihak karena tema yang diangkat vulgar, plus, beberapa adegan yang dianggap terlalu seksi.

Virgin 3 tidak memiliki hubungan jalan cerita dengan dua film terdahulu, namun masih mengangkat tema yang sama: mengenai virginitas. Well, setidaknya itu inti permasalahan yang ingin diangkat melalui film ini. Mengenai tepat atau tidaknya, silahkan Anda yang menilainya sendiri setelah membaca review ini dan menyaksikan film ini sendiri.
Virgin 3 bercerita mengenai empat remaja perempuan, Dini (Saphira Indah Pochi), Putri (Yessa Iona Gaffar), Tika (Gege Elisa), dan Sherry (Irish Bella). Keempat remaja tersebut berencana membuat pesta perpisahan untuk Putri yang berencana melanjutkan sekolahnya di luar negeri setelah lulus SMA. Sherry pun memberikan masukan untuk merayakannya dengan cara yang “berbeda”. Maka, keempat remaja nekat ini meminta bantuan seorang fotografer bernama Tyo (Billy) untuk membantu mereka masuk ke sebuah klub malam. Dengan pakaian super seksi, mereka berpesta dan minum-minum.

Kepolosan mereka tercium beberapa orang yang memang memiliki bisnis sesat. Keempat sahabat tersebut terancam bahaya karena menjadi sasaran kelompok penjual manusia (human trafficking). Berawal dari sebuah rencana nekat, hidup mereka akan berubah selamanya hanya dalam satu malam.
Pertama kali melihat judul film ini, saya berharap akan disuguhi sebuah konflik baru mengenai isu virginitas di kalangan remaja modern Indonesia. Namun, setelah saya selami, film ini justru lebih menonjolkan permasalahan mengenai gaya hidup anak muda (khususnya Jakarta dan kota-kota besar lainnya) yang sebagian besar menganut hedonisme dan pergaulan bebas.

Bisa dibilang, saya lebih sreg dengan Virgin 1 yang memang benar-benar memfokuskan diri mengenai virginitas di mata remaja modern di Indonesia. Saat menyaksikan Virgin 3, saya justru kehilangan “pondasi” yang saya dapat sebelum menyaksikan film ini. Saya berharap isi film ini sesuai dengan judulnya, namun di sisi lain, saya mendapatkan input dari pihak PH bahwa film ini mengangkat permasalahan mengenai human trafficking. Kenyataannya, saat film ini diputar, saya tidak melihat kedua hal tersebut sebagai hal yang ditonjolkan di film ini.
Saat membicarakan mengenai human trafficking, saya membayangkan film sejenis Holly (2006) atau Trade (2007). Kedua film tersebut dari awal menonjolkan tema tersebut dan menjadikannya sebagai kekuatan cerita. Namun, dalam Virgin 3, kita akan melihat begitu banyak konflik yang berbeda, seperti kasus pemerkosaan, usaha di bidang film porno, dan human trafficking. Jadi, kurang tepat jika dibilang film ini hanya menonjolkan isu mengenai human trafficking saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar